Rabu, 30 Desember 2009

BLT=UANG UTANG

Omong kosong bisa membiayai belanja tanpa utang jika penerimaan pajak tidak naik.
PERNYATAAN sejumlah pengamat dan LSM bahwa dana bantuan langsung tunai (BLT) diambilkan dari utang luar negeri ternyata benar.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution mengonfirmasi hal itu, kemarin.

Seusai menyampaikan hasil pemeriksaan BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2008 kepada DPR, Anwar menyebutkan bahwa peningkatan penerimaan pajak merupakan satu-satunya jalan untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri. Penerimaan pajak yang belum maksimal juga mengakibatkan alutsista TNI tidak bisa diperbarui.

“BLT saja kita masih dari utang, bagaimana kita mau beli senjata dan kapal perang. Satu-satunya jalan adalah dengan pajak. Potensi penerimaan pajak kita besar karena kita tidak miskin seperti Somalia yang hanya punya gurun pasir,” kata Anwar.

Pada 2008, pemerintah menggelontorkan Rp14,1 triliun untuk program BLT selama tujuh bulan. Dana itu dibagikan kepada 19,1 juta kepala keluarga (KK) dengan jumlah bantuan Rp100 ribu per KK setiap bulan.

Pada kampanye pemilu legislatif lalu, program BLT menjadi andalan Partai Demokrat untuk mendulang suara. Keberhasilan BLT dianggap sebagai sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga Ketua Dewan Pembina Demokrat, dalam menjalankan pemerintahan prorakyat.

Dalam sebuah kampanyenya Maret lalu SBY membantah bahwa BLT dibiayai dengan dana utang. “Tidak benar BLT itu menghambur-hamburkan uang negara.

Bukan pula dengan jual aset, bukan dengan privatisasi.

Salah kalau mengatakan BLT dari utang.” Kendati membantah BLT dari utang, Kementerian Koordinator Bidang Kesra mengakui bahwa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri dibiayai dari utang Bank Dunia. Padahal, BLT termasuk kelompok (cluster) pertama PNPM.

Menurut Anwar Nasution, omong kosong bisa membiayai belanja tanpa utang jika penerimaan pajak tidak naik. Apalagi, saat ini potensi ekspor turun karena krisis ekonomi global. “Akan semakin banyak orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Ini akan menambah beban BLT, padahal BLT pun dengan utang.” Masalahnya, strategi utang pun berubah menjadi sangat memberatkan. Pada saat Orde Baru, utang luar negeri dilakukan dengan meminjam secara langsung dari kreditur, seperti CGI dan IMF, dengan persyaratan lunak dan bunga hanya 4%-6%. Kini, strategi utang berubah menjadi melalui pasar dengan menerbitkan surat utang negara yang bunganya mencapai 12%-13%.

Ketua Divisi Jaringan dan Kampanye Forum LSM Internasional untuk Pembangunan Indonesia (INFID) Wahyu Susilo menilai program-program penanggulangan kemiskinan tidak maksimal.

Dengan banyaknya program dan dana penanggulangan kemiskinan, lanjut Wahyu, seharusnya angka kemiskinan bisa turun antara 5%-6%. “Faktanya, kemiskinan hanya turun sekitar 1%. Padahal, beban utang kita hingga 2014 makin berat karena banyak utang jatuh tempo. Ini akan mengancam target pembangunan milenium pada 2015.” (X-10)

tupani@mediaindonesia.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar