Jumat, 20 November 2009

Hubungan Peraturan Pemerintah dan Perundang - undangan Terhadap Perekonomian dan Bisnis Kewirausahaan

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa prinsip berdirinya sebuah perusahaan adalah untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Mau tidak mau, perusahaan harus merealisasikan hal tersebut agar roda perusahaan tetap bisa berputar. Menjamurnya perusahaan baik di kota besar maupun di kota berkembang yang ada di wilayah nusantara telah memberikan kontribusi positif sekaligus negatif. Dengan berdirinya suatu perusahaan (produksi/jasa) di pemukiman biasanya ikut membantu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar, salah satunya karena telah membuka lapangan pekerjaan.

Dampak negatif dari berdirinya sebuah perusahaan dirasakan saat perusahaan bukan hanya semakin kaya, tetapi juga semakin berkuasa, sementara jumlah penduduk miskin dan lemah serta rentan secara sosial, ekonomi, politik, kesehatan dan lingkungan semakin banyak. Dalam hal ini, kemajuan perusahaan ternyata menyumbangkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi tidak selalu sejalan dengan pemerataan atau distribusi kesejahteraan.

Pemerintah melihat hal ini sebagai indikasi yang tidak baik dalam perekonomian bangsa, sehingga untuk mengatur keberadaan dan pedoman suatu perusahaan dalam menjalankan roda perusahaannya serta mencegah terjadinya pertumbuhan ekonomi yang menyimpang, dikeluarkanlah Undang–undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dalam undang-undang yang baru ini, terdapat satu pasal yang menjelaskan tentang kewajiban lain suatu perusahaan yaitu tanggungjawabnya kepada sosial dan lingkungan, yaitu Pasal 74 yang terdiri atas 4 ayat, yaitu:
1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan
sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
2) Tanggungjawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggungjawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut, perusahaan saat ini berlomba-lomba dan berusaha untuk memberikan kontribusi secara maksimal kepada sosial dan lingkungan, entah untuk “benar-benar” berkontribusi terhadap bangsa atau hanya untuk “memenuhi peraturan” sehingga ada legalitas terhadap keberadaan perusahaan karena telah memenuhi aturan tersebut. Istilah kepedulian perusahaan dalam bidang sosial dan lingkungan lebih dikenal dengan CSR (Corporate Social Responsibility).

Pro dan kontra bermunculan dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut. Banyak kalangan LSM melihat bahwa perusahaan hanya berbasa-basi ketika melakukan CSR. Kadin dan sejumlah asosiasi pengusaha menolak UU itu, tetapi pemerintah tetap mengesahkannya. Kekhawatiran mereka adalah UU itu menjadi sumber legitimasi praktek pungutan liar karena peraturan itu mencakup kewajiban bagi perusahaan untuk mengalokasikan dana CSR. Begitu seriusnya polemik ini terjadi, hingga wakil presiden pun berusaha meredamnya dengan menyatakan agar perusahaan tidak khawatir pada pengelolaan CSR.

Sedangkan Erna Witoelar selaku Duta Besar Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa kontribusi korporat dalam pembangunan dan pengembangan Indonesia tak hanya ditentukan lewat kegiatan bisnis, tetapi juga pada beberapa kontribusinya terhadap lingkungan sekitar (Warta Ekonomi, 23 Juli 2007).

Banyak perusahaan swasta kini mengembangkan apa yang disebut Corporate Social Responsibility (CSR), yaitu pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, memenuhi kaidah-kaidah dan keputusan hukum dan menghargai manusia, masyarakat dan lingkungan. Ada berbagai penafsiran tentang CSR dalam kaitan aktifitas atau perilaku suatu perusahaan, namun yang paling banyak diterima saat ini adalah pendapat bahwa yang disebut CSR adalah yang sifatnya melebihi (beyond) laba, melebihi hal-hal yang diharuskan peraturan dan melebihi sekedar public relations.

Menurut Bank Dunia, tanggungjawab sosial perusahaan terdiri dari beberapa komponen utama: perlindungan lingkungan, jaminan kerja, hak azasi manusia, interaksi dan keterlibatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha, pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan, kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan. Banyak perusahaan di dunia yang makin meyakini bahwa CSR adalah mutlak untuk membangun citra yang lebih baik dan kredibel, dan bahwa inisiatif - inisiatif CSR berwawasan sosial dan lingkungan akan berdampak positif bagi kinerja finansial dan menjamin sukses berkelanjutan bagi suatu perusahaan.

Khusus tentang CSR, PPM Institute of Management terlibat dalam suatu proyek dari ADSGM (Association of Deans of Southeast Asian Graduate School of Management) dimana STM-PPM adalah salah satu pendiri. Proyek CSR ini didasari suatu observasi bahwa perusahaan-perusahaan di Asia tampaknya kurang peduli terhadap CSR (dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan di Barat) sehingga diputuskan untuk menaikkan “awareness” dan kepedulian perusahaan-perusahaan di Asia tersebut dengan menulis kasus-kasus tentang CSR di Asia.

Berbagai bentuk realisasi CSR dilaksanakan oleh perusahaan, mulai dari bakti sosial, beasiswa, hingga pemberian uang tunai kepada UMKM. Tetapi ada pihak yang tidak sepakat dengan pemberian uang tunai ini. Mereka menganggap bahwa pemberian dana tunai hanya akan menciptakan ketergantungan masyarakat pada perusahaan bersangkutan. Selain alasan yang dikemukan tersebut, mereka juga beranggapan bahwa CSR seharusnya merupakan program panjang ke depan, dengan kata lain tidak ada instan CSR.
Penulis : Anastasia Dwifebri Martanti
( Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia )
http://www.isei.or.id/page.php?id=5aug073

Peran sektor usaha dalam pemenuhan, pemajuan, dan perlindungan HAM di Indonesia tidak lepas dari Global Compact
yang digulirkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (tahun 1999) dan dokumen PBB tentang tanggung jawab perusahaan (transnational) terhadap HAM (disahkan dalam tahun 2003). Bersama-sama dengan sepuluh asas Global Compact (GC), maka konsep Corporate Social Responsibilities (CSR) sekarang merupakan bagian pedoman melaksanakan Good Corporate Governance (GCG). Sekarang, masalah etika bisnis dan akuntabilitas bisnis makin mendapat perhatian masyarakat di beberapa negara maju, yang biasanya sangat liberal dalam menghadapi perusahaan-perusahaannya, mulai terdengar suara bahwa karena “self-regulation” terlihat gagal, maka diperlukan peraturan (undang-undang) baru yang akan memberikan “higher standards for corporate pratice” dan “tougher penalties for executive misconduct”

Asas-asas dalam GC ini dapat ditemukan pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan kita, khususnya mengenai ketenagakerjaan, perlindungan lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Tentang HAM kita tentu merujuk kepada KomNas HAM dan Konstitusi (UUD 1945) kita yang mempunyai Bab XA tentang HAM (Pasal 28 A s/d Pasal 28J - Perubahan II tahun 2002)(2).Dalam Kerangka Acuan (TOR) pertemuan ini antara lain dijelaskan bahwa Corporate Social ResponsibillitY (CSR) telah diterapkan oleh sejumlah perusahaan multinasional dan nasional di Indonesia. Umumnya kepatuhan dan pelaksanaan CSR ini dikaitkan dengan program Community Development (CD) dan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Sebenarnya CSR tidak saja berhubungan dengan CD, justru CSR harusnya lebih terkait pada GC. Sebagaimana kita tahu GC adalah sejumlah asas yang berlaku secara sukarela pada perusahaan yang mau turut serta dalam GC tersebut.
Peningkatan CSR akan memperkuat pengaruh GC pada perilaku perusahaan (corporate behaviour).

http://www.duniaesai.com/hukum/hukum5.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar