“Life is a daring adventure or nothing”
-Helen Keller
Saat anda membaca kata "kuburan" apa yang muncul dalam pikiran anda? Apakah anda akan langsung teringat orang-orang yang anda kasihi yang telah lebih dulu meninggalkan dunia ini? Atau anda teringat film tentang Drakula, Vampire, Kuntilanak, Forever Night, Simanis Jembatan Ancol, Pemburu Hantu, Dunia Lain, Suara Kubur, atau gambaran lain yang lebih menyeramkan? Atau mungkin yang muncul dalam pikiran anda adalah gundukan tanah dengan batu nisan di ujungnya?
Bila saya mendengar kata kuburan maka yang muncul dalam pikiran saya adalah suatu tempat yang paling kaya di dunia ini. Lho, kok bisa begitu? Benar, saya melihat gundukan tanah dan batu nisan yang bertuliskan nama, tanggal lahir tanggal meninggal. Namun yang lebih saya perhatikan adalah garis kecil yang memisahkan tanggal lahir dan tanggal meninggal. Mengapa? Karena garis kecil inilah yang sebenarnya jauh lebih penting dari pada tanggal lahir atau tanggal meninggal seseorang. Garis kecil ini menggambarkan kehidupan yang telah dilalui seorang manusia, apa yang telah ia lakukan dalam hidupnya, apa yang ia lakukan dengan hidupnya, prestasi apa saja yang telah ia capai baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, untuk masyarakat, dan untuk umat manusia.
Garis kecil ini merupakan jawaban dari suatu pepatah bijak yang saya dengar bertahun-tahun lalu, yang masih sangat kuat mengiang di hati saya hingga saat ini, “God’s gift to you is your life. What you do with your life is your gift back to God”.
Mengapa saya mengatakan bahwa kuburan adalah tempat terkaya di dunia? Karena ada begitu banyak orang yang sebenarnya tidak hidup selama mereka hidup, hanya sekedar “ada” atau “exist”, hingga mereka meninggal.
Lha, kalau mereka tidak hidup lalu apakah mereka telah meninggal? Bukan. Kebanyakan orang hanya sekedar “hidup-hidupan”. Mengutip yang dikatakan Benjamin Franklin, “Most men die from the neck up at age 25 because they stop dreaming”.
Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh Benjamin Franklin. Dan saya ingin menambahkannya menjadi, “Most men die from the neck up at age 25 not because they stop dreaming but because they don’t have the courage, passion, commitment, and burning desire to pursue their worthwhile dreams while they are awake and alive”.
Seorang guru spiritual pernah berkata, “Dalam hidup ada kehidupan. Kita harus menghidupkan kehidupan ini agar kita benar-benar hidup di dalam hidup kita, tidak sekedar hidup-hidupan. Setelah kita benar-benar hidup, mengerti hidup, mengapa kita hidup, dan untuk apa kita hidup, baru kita dapat membantu orang lain untuk menghidupkan kehidupan mereka sehingga mereka benar-benar hidup di dalam kehidupan mereka”.
Kuburan adalah tempat terkaya di dunia karena ada begitu banyak orang yang meninggal dengan membawa impian-impian besar mereka yang belum terwujud, ke dalam kubur. Mereka menyimpan semua harapan dan impian mereka tanpa mampu, sempat, atau berani mewujudkan impian mereka. Ada banyak faktor yang menyebabkan orang tidak hidup sesuai dengan potensi mereka. Ada banyak pencuri impian yang berkeliaran di sekitar kita, yang senantiasa siap mencuri impian-impian kita.
Dalam berbagai kesempatan saya berinteraksi dengan orang, saya selalu melakukan survei kecil-kecilan. Apa yang saya tanyakan ? Saya berusaha mencari tahu benang merah antara bidang pekerjaan atau karir yang mereka kerjakan sekarang dengan latar belakang pendidikan formal atau bidang keunggulan mereka. Hasilnya ? Selalu membuat hati saya sedih.
Hampir semua, saya ulangi hampir semua, orang yang saya temui ternyata melakukan pekerjaan yang berbeda atau tidak sejalan dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari saat masih kuliah. Ada sarjana arsitek atau teknik sipil yang jadi debt collector. Ada lulusan luar negeri yang buka depot atau catering. Ada sarjana teknik kimia yang jadi guru Play Group/ TK. Ada sarjana teknik mesin yang jadi sales mobil atau agen asuransi dan masih banyak contoh lain.
Saya sering menjumpai orangtua dan orang tua yang berkata, “Coba dulu saya melakukan......... pasti keadaan hidup saya berbeda”, “Saya menyesal setelah kini sadar ternyata impian saya yang sesungguhnya adalah.........”. Apakah anda pernah bertemu dengan orang-orang seperti ini?
Saya juga sering bertemu dengan orang yang dulunya begitu bersemangat mengenai masa depan mereka, impian-impian mereka, dan hidup mereka, ternyata setelah sekian tahun kemudian, saya tidak lagi melihat passion atau gairah hidup yang dulu pernah ada di dalam diri mereka. Saat saya bertanya mengenai hal ini jawaban mereka biasanya, “Yah.... kita harus realistis. Ekonomi sekarang lagi sulit. Dapat kerja atau bisa cari makan saja sudah syukur. Nggak usah macam-macam lah”.
Setelah membaca cerita saya sejauh ini mungkin anda akan bertanya, “Kalau begitu Pak Adi pasti tidak termasuk orang-orang yang diceritakan di atas?”. Anda salah. Saya juga termasuk orang yang pernah salah jurusan. Impian-impian saya sempat hampir padam. Namun saya bersyukur karena saya dapat segera sadar dan segera menyusun ulang program hidup saya. Saya juga pernah tersesat. Besar harapan saya, setelah anda membaca cerita saya, anda bisa saya sesatkan kembali ke jalan yang benar.
Lalu bagaimana caranya untuk bisa mengetahui impian kita yang sesungguhnya? Butuh waktu untuk melakukan perenungan mendalam. Impian hidup hanya bisa ditemukan melalui serangkaian proses perjalanan pencarian ke dalam diri (inner journey). Impian ini hanya bisa didapatkan bila kita sungguh-sungguh bangun, sadar, dan mencarinya secara sadar. Impian setiap orang berbeda. Namun bila impian itu berasal dari lubuk hati terdalam, maka esensi setiap impian hidup pasti akan sama dan sangat mulia. Karena impian bersifat sangat pribadi maka saya tidak akan membahasnya dalam artikel ini. Yang akan saya bahas adalah potensi diri atau bidang keunggulan kita.
Setelah menemukan impian hidup barulah kita menentukan strategi untuk mencapainya. Untuk itu, kita perlu mengenal potensi diri. Yang saya maksudkan dengan potensi diri adalah kekuatan atau bidang keunggulan kita. Untuk menemukan bidang keunggulan atau potensi diri yang sesungguhnya maka kita perlu, untuk sementara waktu, melupakan semua pendidikan formal yang pernah kita jalani. Lakukan analisa diri dengan cermat dan jujur.
Bidang pekerjaan yang kita lakukan saat ini belum tentu sejalan dengan potensi diri yang menjadi keunggulan kita. Lalu bagaimana caranya untuk mengetahui bidang keunggulan kita? Kawan karib saya, Paulus Winarto, memberikan resepnya dengan sangat gamblang, seperti yang saya kutip di bawah ini:
1. Kita menyukai pekerjaan/ aktivitas tersebut.
2. Kita mau melakukan pekerjaan/ aktivitas tersebut meski tidak dibayar.
3. Kita merasakan mudah melakukannya sedangkan orang lain merasa sulit.
4. Semakin sering kita melakukannya maka semakin baik kita dalam bidang ini.
5. Kita sering dipuji orang karena melakukannya (pekerjaan ini mampu kita lakukan dengan baik).
6. Kita selalu bersemangat saat membicarakan pekerjaan/ aktivitas tersebut.
7. Kita selalu bersemangat dan memiliki energi yang besar saat melakukan pekerjaan/ aktivitas tersebut.
8. Kita sering lupa waktu saat melakukan pekerjaan/ aktivitas tersebut.
9. Kita merasa puas ketika melakukan pekerjaan/ aktivitas tersebut.
10. Kita merasa bangga saat melakukan pekerjaan/ aktivitas tersebut.
11. Kita mudah mempengaruhi orang dalam bidang pekerjaan/ aktivitas tersebut.
Ada seorang kawan saya yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi namun bekerja di bagian purcashing/ pembelian. Saat ditanya apa pelajaran favoritnya saat di SMA ia menjawab, “Saya sangat suka bahasa Inggris. Saya selalu mendapat nilai sangat tinggi dalam bidang studi ini”. Saat ditanya mengapa ia memilih jurusan akuntansi, ia menjawab, “Saya ambil jurusan akuntansi karena dulu saya pikir jurusan ini menjanjikan masa depan yang baik. Hasil tes minat dan bakat saya sebenarnya lebih condong ke aspek bahasa”
Kisah lainnya adalah tentang kawan saya, Lina. Kawan saya ini telah menggeluti dunia desain pakaian selama lebih dari 15 tahun. Ia selalu berkata bahwa passion-nya adalah di dunia mode. Benarkah demikian? Ternyata kalau saya cek dengan 11 kriteria di atas maka dunia mode bukanlah bidang keunggulannya. Mengapa? Karena selama lebih dari 15 tahun dia tidak berkembang. Semakin banyak job yang ia dapatkan maka semakin stress dirinya. Bahkan sampai jatuh sakit.
Saya menyarankan ia untuk beralih profesi dengan mengembangkan diri sejalan dengan bidang keunggulannya. Kembali Lina beralasan bahwa dunia mode adalah dunianya. Di samping itu semua kawannya sudah mengenal dirinya sebagai desainer pakaian. Sayang kalau harus meninggalkan dunia ini karena sudah digeluti lebih dari 15 tahun.
Lalu, siapakah orang yang “menyesatkan” kita sehingga kita melakukan pekerjaan yang bukan bidang keunggulan kita? Bisa lingkungan, bisa orangtua, bisa pihak sekolah, bisa siapa saja. Mereka adalah orang yang sebenarnya bertujuan baik namun masih menggunakan paradigma lama. Hal ini akan membuat seorang anak tumbuh dewasa tanpa mampu atau sempat mengembangkan potensi mereka yang sesungguhnya.
Sering kali bidang keunggulan seseorang “dibelokkan” oleh orangtua, teman, guru, atau orang yang dipandang mempunyai otoritas sehingga seorang anak, yang nantinya akan menjadi pribadi dewasa, akhirnya yakin dan mengembangkan diri tidak sejalan dengan potensinya yang sesungguhnya.
Kawan saya, Ariesandi Setyono, lima tahun lalu, pernah membantu seorang anak SMU, sebut saja Agus, untuk menemukan bidang keunggulannya. Agus berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya terkena stroke dan ibunya kerja serabutan untuk menghidupi keluarganya. Agus adalah anak laki paling besar yang diharapkan menjadi tulang punggung keluarganya.
Saat Aries bertanya, “Apa hobi atau kegiatan yang sangat suka kamu lakukan?”. “Saya sangat suka merangkai bunga”, jawab Agus cepat. “Ok, kalau begitu, karena orangtuamu tidak akan mampu membiayai kamu kuliah, maka sebaiknya kamu belajar di Florist dan mendalami hobimu untuk dijadikan sumber uang”, jelas Aries.
Agus benar-benar menjalankan apa yang Aries sarankan. Agus tidak kuliah dan begitu tamat SMU, dengan meminjam uang dari ibunya, langsung belajar merangkai bunga di sebuah Florist terkenal di Surabaya. Hasilnya? Tahun lalu, saat Agus masih berusia 23 tahun, ia telah berhasil membeli satu unit ruko di lokasi yang strategis seharga Rp. 650 juta tunai. Ia juga mampu membeli mobil baru, seharga lebih dari Rp. 100 juta, secara tunai. Yang paling penting adalah ia mampu menjadi tulang punggung keluarganya dalam hal finansial.
Anda pasti bertanya bagaimana si Agus ini kok bisa begitu berhasil? Ternyata dari hobinya merangkai bunga Agus kemudian “melarikan” kecakapannya ini ke bidang wedding decoration. Hebatnya lagi Agus membidik segmen pasar kelas atas yaitu hanya menerima dekor pengantin di hotel bintang lima. Apa yang Agus lakukan pasti akan sangat maksimal karena usahanya dilakukan sejalan dengan bidang keunggulannya. Kabar terakhir yang kami dengar tentang Agus yaitu jadwalnya untuk setahun sudah penuh. Ck..ck...ck... luar biasa anak muda ini.
Bagaimana dengan anda, para pembaca yang budiman? Apakah anda sudah mengembangkan potensi anda yang sesungguhnya? Apakah anda selama ini hanya menjalani rutinitas pekerjaan yang bukan di bidang keunggulan anda?
(Dikutip dari Artikel Adi W. Gunawan)
Sabtu, 28 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar